Friday, December 11, 2009

Monolog: (un)pleasant third

Melangkahkan kaki ke arah selatan, menuju gerbang pendidikan. SMA N 1 Surakarta. Begitu gelar tempatku ditempa. Telah terjadu banyak klise dan siklis-siklis alami serta fase hukum roda yang sudah merajai kehidupan manusia. Alhamduliilah, saya masih diberi waktu untuk menjalani peliknya masa remaja -..-

Owret, lets move to the point, may it won’t be my first paradox, but my first known. Skenario masa muda, sub bab asmara. Ini sudah judul ketiganya. Hell no, I’ll not surprised if you be able to shocked. And I wish I can pretend these third everlong. Ga berharap banyak juga sih, soalnya emang ga ada harapun (untuk saat ini, semoga).

Sebelumnya pernah dihantui trauma sama yang pertama soalnya naskahnya aku kira bakal sama. Ternyata ya emang sama kesimpulannya zzzzz. Orientasi dan konflik mirip, tapi klimaks dan penutupnya beda agak beda. Caranya juga beda, disini makin banyak rumus-rumus baru yang ditemui. Tapiiiiiiiiiiiiiiiii, setelah diakumulasikan tetap NOL. Hey matematika ku sekali kawan, menggunakan rumus berlipat-lipat tapi ternyata ada rumus yang lebih singkat dan akurat.Well well welly donky *nerd*

Tapi entah kenapa walau udah sering meronta, rasanya titik tumbuh dari meristem dewasa selalu mengarahkan rasa bersyukur terhadap apa yang udah ada. Teorinya, bersyukurlah atas apa yang kamu dapat, maka itu akan membuatmu lebih pantas untuk mendapatkan yang lebih selanjutnya. Bersyukur sih bersyukur, asal jangan lupa buat terus usaha. Living gratefully, but don’t satisfied easitly. Hmmmmh, susah juga -____- Masalahnya (mungkin) teori itu kalo diaplikasikan ke sub bab yang satu ini malah berdampak jadi agresi yang penuh ambisi. Nooooooo..

Ah tapi tetep lah, gapapa. I feel the way of my roman is more enchanting than any movies they ever made :D

Ouch, udah jam 5 pagi, and it means I’ve hold out bout 5 hrs, dan belum belajar PKn, dan aku remed 2 KD. HEBAT HEBAT. (“Katanya mau berubah mbak?” AWWWWWW -_-)

Prolog

Matahari berlabuh, telah senja. Setiap sore begitu saja, sama dan selalu sama. Well, saya hanya gadis biasa yang penuh polemik dan intrik. Otak serasa diisi oleh episiklus yang belum bisa saya taklukan, saya bukan Tuhan yang mampu mengendalikan alam semesta seisinya. Begitupula mereka, semua pantas memaklumi kehidupan remaja dalam masa rasis dan anarkis.

What about life? What about love? What about school? What about today? Man it was literally sucks -_- Entah kenapa ya sekarang begitu susahnya jadi jawara. Satupun aspek hidup saya belum ada yang beres, stress. Inget waktu SD dulu tiap taun jadi juara kelas, kalo ga dapet 100 di Matematik langsung gamau makan seharian. Nah sekarang? 75 aja udah berarti lebih, in which itu cumin batas tuntasnya. That’s me.Yang lain? Ada yang dapet 90, INSTANTLY. Entah dia nyontek ato emang belajar ato emang pinter dari sononya. Ato malah pake jampi2 dari dukun lereng gunung bromo. Like I care.

Jujur sebenernya aku khawatir sama laju nilaiku yang mungkin kalo diakumulasiin ga cukup untuk menuhi hutangku buat papa mama. Yah seperti pejuang keluarga lainnya yang ingin anak2nya lebih sukses dari mereka, beliau menginginkan aku dan adekku yang terbaik. Ayah terutama, beramanat untuk belajar giat supaya masuk FK. FK. FK. FK. Ya Allah sedih banget kalo mikirin itu, dengan nilaiku yang compang-camping, afeksi yang mengutamakan kebebasan dan organisasi, mengasingkan belajar, itu semua bukan rumus untuk mencapai sebuah gelar “Dr.”.

But, still I try, struggle for a change, changing for the hassle. Yea, I will become stronger.